Tanggal 9 Juni 2022, beberapa member IHEAC ikut dalam kunjungan ke rumah Pak Wong di Kawasan Menteng, Jakarta Selatan. Ini tentu acara saling berkunjung pertama sejak kondisi Indonesia membaik sejak pandemi Covid 19, dimana kemudian beberapa pehobi sudah berani untuk saling berkunjung.
Di acara pertemuan ini hadir Dan Santoso(pehobi audio dan film yang tinggal di Kawasan Meruya dan punya ruang home theatre dan musik yang terus dia eksplorasi, diantaranya dengan memainkan panel akustik), Daniel Suroyo (perakit amplifier dari Anda Audio), Didi Satelitto (pehobi audio dan juga membuat amplifier, pernah ikut IHEAC Show), Ferri Effendi(pehobi audio dan penikmat film) dan Gatot Susetyo(IHEAC dan WhatHiFi Indonesia).
Profil
Wong termasuk pehobi yang sangat mengapresiasi sistemnya.Jika diminta menyebutkan merk dan modelnya/tipenya, dan apakah ada cerita tentang alasan dibalik mengapa dia memilihnya, dia akan menjawabnya dengan lugas. Dia seperti tahu betul akan sistemnya dan bagaimana mengapresiasi sistemnya ini.
“Jika saya dengar lagu, I try to extract feeling yang sedang diekspresikan si penyanyi, nah di sebuah sistem yang bagus, ekspresi itu bisa saya dapatkan”katanya, seperti ingin mengatakan sebuah kemampuan dari sistemnya.
Apa yang dia suka dari sistemnya ini, salah satunya karena sistemnya ini bisa bermain di aneka genre musik, mulai dari pop, soft rock, yang ngebeat, hingga yang ngejazz bahkan hard rock dan metal sekalipun. Kedua, sistemnya tidak menampilkan kolorasi. “Nothing added”,katanya.
Sejak 1989 Pak Wong yang berbisnis alat kecantikan ini kembali ke Indonesia dan mulailah dia hobi audio. Dia main Creek, Cyrus Audio, lalu ke Naim. Kini dia memakai paduan speaker Focal Sopran No.2 dengan paduan preamp Lam dan power Atmasphere (untuk tabung) dan Naim Audio (untuk transistor). Dia juga termasuk pehobi stereo yang percaya akan keampuhan subwoofer, dengan memakai subwoofer Rel.
Untuk interior ruangannya, sudah ditreamen akustik. Dan pak Wong juga menganggap bahwa selain kualitas suara, kualitas akustik pun perlu dibenahi, dan terakhir adalah bagaimana sikap dengar yang baik itu juga berperan.
“Selama ini selalu di doktrinkan kan ya, Source first, atau Garbage In Garbage Out, yaitu sumber music, Vinyl (jaman dahulu seperti merk Linn Sondek LP12 atau streamer kini seperti dSC dan lain-lain) setelah itu baru amplification, dan yang terakhir barulah speaker. Saya sempat coba system modern saya yang streaming dengan speaker Studio monitor JBL, AR dan sebagainya - bagi saya suara yang keluar not too detailed, mungkin karena crossover/woofer yang lama sudah tidak bisa keep up with the modern electronics”kata Wong.
Bagaimana Sistemnya?
Saat kedatangan juga kami lihat sebuah speaker bookshelf Falcon Acoustic LS3/5A. Speaker seharga di bawah 40 jutaan Rupiah ini terlihat didepan dCS Bartok dan Naim 252/SC/300 solid state.Menurutnya speaker ini bersuara ‘glorious’ dan musical.
Wong juga memasang sistem Wifi satelit dengan Net Gear untuk seluruh bagian rumahnya dimana jaringannya integrated, memakai Roon di berbagai kamar, dengan koneksi yang dikatakannya stabil sehingga memungkinkan streamingnya enak dan lancar.
Guyubnya saat kumpul
Yang menarik dari Wong adalah juga, dia bersedia menerima masukan dari kami kami yang main ke sistemnya ini. Wong bersedia berdiskusi apa saja pendapat dari masing masing kami tentang suara dari sistemnya, atau komentar tentang keakustikan ruangannya. Perkara apakah saran itu dijalankan, itu tentu soal belakangan. Jadinya, selama pemutaran lagu selalu saja ada obrolan disela-selanya atau setelah lagu selesai.
Seperti obrolan tentang perlunya digunakan peredam yang lebih solid di depan ruang, menurut Dan Santoso. Ini karena menurutnya tampilan sistemnya kurang fokus. Suaranya agak telalu laidback, walau diakuinya untuk sebuah ruang dengar sudah enak. Dia menyarankan untuk ruangan bisa lebih dibikin solid suaranya. Apakah perlu penambahan bahan akustik seperti difuser? Dan (yang di rumahnya sendiri juga gemar bermain panel akustik) menyarankan untuk di sisi depan ruang ini ditambahkan saja material busa/rockwool dengan bentuk segitiga, dan diletakkan di ujung depan. Bisa saja dengan membuat sendiri dengan memakai kayu atau triplek dan kain New Georgia, yang penting rapi - katanya.
Kami menguji coba sistem dengan rekaman yang khas vokalnya atau bagaimana tampilan bawahnya, misalnya di CD Dali 2 yang ada I Will Remember-nya Toto. Dan dengan welcomenya sang tuan rumah, beberapa dari kami pun minta diputarkan lagu lain yang sifatnya bisa memperlihatkan dimensi suara, dimana lagu seperti ini sering di dengar sebagian dari kami. Ini semua hanya demi untuk mengetahui bagaimana tampilannya bila diputar di sistem Wong.
Dibahas juga tentang pemakaian subwoofer yang ditempatkan di pojok. Bagaimana kesan suaranya antara menghidupkan sub dengan mematikan sub di sistem stereo ini. Bagi sebagian dari kami, dengan tanpa sub, vokal malah lebih terasa present.
Ketika kami tanyakan kepada Wong, apa yang dirasa kurang dari sajian sistemnya. Wong hanya mengatakan bahwa sepanjang mendengarkan musik berjam jam diruangannya membuatnya betah, itu sudah cukup.
"Saya merasa dengan full Naim di sistem sekarang, walaupun belum sampai ke series tertinggi, saya sudah sangat happy. Sudah "end game". Ini bisa saya rasakan dengan dapat mendenger full album tanpa gonta-ganti lagu-lagu. Semua lagu dapat dinikmati -- dan memang tentu tujuan kita mengoptimalkan sistem audio kita kan untuk menikmati musik"jawabnya.
Inilah kunjungan dari kami ke Wong. Nikmatnya, selain bisa 'kulineran' telinga dengan suguhan aneka genre musik, juga bisa berdiskusi, sharing pendapat dan pengetahuan. Dengan obrolan ini bukan tak mungkin bisa saling berpikir ‘out of the box’, mendapatkan sebuah hal yang baru. Karena hobi audio juga perlu bersosialisasi.