Orang main audio itu tak ubahnya orang bersekolah. Dari pertama mengenal stereo, lalu beranjak ingin kian melatih telinga dengan sering mendengar dan membedakan suara rekaman hingga kemudian jam terbangnya kian tinggi dan telinga mulai kritis menyikapi kualitas sistem, ruangan dan rekaman. Ini tentu adalah perjalan tersendiri, seperti yang dialami Santoso. Kini (foto di atas), Santoso memakai perangkat yang hampir seluruhnya dia dapatkan dari galeri Audio Jaya, yang saat IHEAC Audio Video Show 2024 nanti (5 – 8 Desember 2024 di Fairmont Jakarta) kembali tampil sebagai exhibitor.
Dari sistem berspeaker kecil, kini memakai speaker besar dengan sistem pendukung yang juga terbilang sangat lengkap. Dari keakustikan dari yang sederhana bahkan terkesan apa adanya, kini dibuat sangat serius. Selain itu, telinganya pun sudah gemar menganalisa kualitas sajian musik di ruangannya. Sebuah gambaran sebuah perjalanannya dalam ‘bersekolah’ tadi, yang juga menggambarkan bagaimana dia mengganti alat. Tahun 2008 dia pakai Magico Mini. Tahun 2012 ganti ke Magico Q3. Baru kemudian meningkat kelasnya dengan Raidho TD 4.8 di tahun 2018 hingga kini.
Foto-foto (searah jarum jam) ini memperlihatkan sistem pertama Santoso, yang lalu dia upgrade karena kualitas suara yang kian meningkat
Saat Santoso memakai Magico Q3 ini, kami pernah mengunjunginya di tahun 2012. Dan Santoso yang saat itu, berbeda dengan Santoso kini yang jauh lebih memahami hobi audionya, misalnya dengan mengetahui banyak hal tentang apa yang ada di ruangannya. Dia pun mengakui, dari dahulu yang paling banter sebulan satu dua kali mendengarkan musik, kini hampir tiap malam dia habiskan 1-2 jam, bahkan kadang lebih – di ruang audio ini.
“Dibandingkan dengan yang sekarang, system terdahulu kurang dalam menyampaikan emosi. Banyak juga tampilan suara yang saat itu menurut saya seharusnya tidak demikian. Saya yakin ini karena kondisi ruangannya”katanya
Dahulu keakustikan ruangannya memang menyimpan banyak masalah yang membuat suara bass misalnya, terasa boomy dan suara forward. Masalah ini lambat laun dia kenali, hingga kemudian dalam perjalanannya dia merasa ingin menata keakustikan dan mengganti speakernya ini dengan speaker besar.
“Ada yang berpendapat bahwa ruangan saya ini terlalu kecil sehingga sulit mendapatkan soundstage yang lebar.. Waktu itu saya belum bisa bayangkan seperti apa karena belum pernah punya. Dengan berjalannya waktu dimana saya kian mengenal tentang audio apalagi kemudian ke Munich, yang membuat saya jadi lebih tahu tentang barang apa dan apa kemajuan audionya” kata Santoso. Jadi dua hal dia ingin lakukan saat itu, yakni mengganti dengan speaker besar, dan menata akustik ruangannya.
Main Ke Yang Lebih Berkelas
Tahun 2016 dia bergairah kembali main audio, dan mulai mengupgrade satu persatu sistemnya, termasuk pre amplifier dan power conditioner. Di tahun ini pula dia berkenalan dengan Jonathan dari Audio Jaya, yang dia ketahui merintis jualan audio high end (dengan memegang merk Chord dan dua merk lainnya) setelah sebelumnya main di audio profesional.
Sesampainya di Lumajang, salah satu hidangannya adalah dengar musik bareng.
“Sejak kenal pertama kali ini saya ambil JMF. Sayalah yang pertama mengambil JMF di Indonesia. Dan saat dia pegang merk dCS di tahun 2017, saya lalu ambil dCS ini”kata Santoso., sambil mengatakan bahwa beberapa merk lain pun yang dipegang Audio Jaya, dialah yang pertama kali pakai, seperti dCS Vivaldi dan akustik Vicoustic, juga speaker Raidho yang dia gunakan sekarang(yang merupakan tipe top of the line Raidho saat pameran di Munich 2018).
Dia pernah punya dual mono power amp JMF HQS 6002 (stereo, main di 350 Watt). Setahun kemudian, dia ganti dengan power yang monoblok, yakni HQS 7001 (main di 700 Watt). Dan dalam perjalanan lanjutannya, dia ganti dengan yang sekarang ini, yakni JMF HQS 9001 (main di 1000 Watt).
Di bulan Januari tahun 2018, dia mulai bermain turntable dengan memakai turntable AMG. Sebulan kemudian dia merenovasi ruangannya. Tiga bulan kemudian, tepatnya di Mei 2018, Santoso bersama teman-temannya melancong ke Munich. Disinilah awal bertemunya dia dengan speaker Raidho yang lalu diboyongnya ke rumah.
Ya, salah satu cara yang dia tempuh untuk menaikkan kelas perangkatnya adalah dengan mengunjungi pameran. Di tahun 2018, pergilah Santoso ke Munich High End Show. Disana dia mengaku takjub, salah satunya karena melihat bagaimana dalam satu lokasi saja bisa memuat sekitar 300 ruangan. Untuk memilih mana speaker yang terbaik tentu terbilang sulit karena banyaknya pilihan. Di sisi lain tentu perlu melihat budget karena satu room saja bisa saja menghabiskan budget atau bahkan diluar budget. Tetapi yang menarik baginya, para exhibitornya sudah tampil all out. Maklumlah, ini pameran kelas dunia.
Akhirnya pilihan jatuh kepada Raidho TD 4.8. Kenapa memilihnya, ada kisah menarik di balik itu. Ceritanya dia terpesona oleh sajian lagu Liberty dari album Liberty-nya Anette Askvik yang direproduksi oleh speaker Raidho ini. Lagu ini saat itu memang tengah ngetren di kalangan audiophile, dan diputar di banyak ruangan peserta show ini. Menurut telinganya, saat diputar di Raidho TD 4.8-lah yang dia katakan suaranya paling benar. Maka dia pun memboyong kemudian speaker ini. Dia mengaku sampai 5 kali bolak balik ke ruangannya Raidho di pameran ini, selama 3 hari dia di pameran.
“Padahal saat itu saya juga baru pertama kali dengar lagunya. Tampilannya megah, lebar dan terasa speaker ini menghilang. Teman teman IHEAC yang saya putarkan semalam (saat kunjungan IHEAC ke rumahnya) pun pendapatnya sama dengan pendapat saya kala itu” kata Santoso. Santoso di sisi lain melihat speaker ini cocok dengan ruangannya, karena speakernya tidak terlalu besar dan tak terlalu kecil. Speaker ini dikatakannya merupakan karya designer Benno Baun Meldgaard (mantan ownernya merk Gamut).
Raidho ini awalnya belum masuk hitungannya karena budgetnya dua kali dari dua model yang awalnya ingin dia lirik. Tetapi begitu mendengar suaranya di pameran, dia jadi ‘kepincut’.
Santoso saat menjamu dengan memutarkan beberapa lagu koleksnya
Ruangan pun Dibenahi
Tidak hanya sistem, ruangan berukuran 5 x 7 meternya pun dia benahi keakustikan dan interiornya. Bahkan ruangan ini sudah dia persiapkan dahulu sebelum masuknya speaker Raidho. Santoso memakai keakustikan Vicoustic dari Portugal.
“Dalam perjalanan waktu, saya kian mendalami keakustikan. Dari ngobrol dengan pak Riwin, agar ruang bisa menghadirkan soundstage yang lebar, dia menyarankan untuk membongkar ruangan”kata Santoso. Akhirnya ruangan dibongkar, termasuk lantai kayunya. Begitu ruang selesai, tiga bulan kemudian sistem pun masuk termasuk speaker Raidho. Bersama Riwin, Santoso pun menyetting speaker. Mencari titik maksimal untuk speaker ini terbilang sulit, diakui Santoso. Ini memakan waktu tersendiri dalam perjalanan main audionya.
“Berkali kali ganti posisi speaker, tetapi yang sekarang ini sudah yang paling maksimal”katanya. Raidho ini termasuk yang kritis, sehingga diubah titiknya sedikit saja, suara langsung berubah.
Inilah kunjungan IHEAC ke ruangan Santoso di tanggal 2 dan3 Juni 2024 dalam rangkaian Safari Tour ke Jawa Timur. Beragam pendapat positif dikeluarkan kami yang memang berjumlah 8 orang saat dengar bareng ini. Yang menarik, disini speaker seperti menghilang. Kita merasa seperti tidak tengah mendengar speaker. Terasakan emosi penyaji yang kental, seperti dia tampil di depan kita. Tampilan depthnya pun terasa. Kita mudah mengamati pemain musik dengan posisinya masingmasing. Imagingnya tampil rapi. Suka juga akan tampilan mid vokalnya, serta bagaimana dia menampilkan microdynamic suara.
Sistem Santoso
Apa saja sistem Santoso saat IHEAC datang berkunjung di bulan Juni 2024 ini? Dibawah ini ada foto dari tulisan dari Santoso sendiri yang menjelaskan perangkat serta koneksi perangkatnya.